Riba dan Debunya kita semua berdosa atasnya

Suatu kali Rasulullah sallallahu'alaihi wassalam bersabda "akan datang masa ketika mereka yang tidak mau makan riba pun terkena debunya." Artinya seluruh tata kehidupan pada masa itu bercampur dengan riba hingga kita tak bisa menghindarinya. Sekarang perhatikan keadaan sekeliling kita.

Ketika seseorang hendak memiliki rumah, kendaraan, peralatan rumah tangga (tivi, perabot elektronik, mebel, dsb), pada umumnya, harus membayarnya dengan kredit, karena harga yang tak terjangkau. Lebih dari itu, untuk kebutuhan sekunder pun, seperti untuk biaya pendidikan, ongkos kesehatan, juga berbasis kredit.

Bisakah kita menghindari riba, setidaknya debunya, ketika riba telah menjadi sistem? Untuk bepergian pun, apalagi kalau lewat jalan tol, kita terlibat dengan sistem riba - karena ongkos tol dan pajak jalan yang kita bayarkan mengandung riba, sebab investasinya berasal dari kredit perbankan. Bahkan seluruh layanan sosial yang disediakan pemerintah pun, dalam bentuk apa pun, sesungguhnya dibiayai dari utang berbunga dari perbankan. Bukankah untuk menggaji PNS pun pemerintah mengandalkan APBN yang berasal dari utang berbunga dari bank luar negeri?

Sebagai kaum beriman kita tak boleh menganggapnya sepele. Allah SWT mengancam hukuman yang berat para pelaku riba. Dosa yang harus mereka tanggung karena keterlibatan dengan riba adalah dosa terbesar kedua sesudah syirik. Rasulullah sallallahu'alaihi wassalam telah pula menegaskan bahwa kedudukan mereka yang terlibat dengan riba - langsung atau tidak langsung - yaitu yang membayarkan, yang menerima, yang mencatat, dan yang membiarkannya, adalah sama kedudukannya.

Mengapa dosa riba begitu besar dan ancaman hukumannya begitu berat? Sebab riba adalah sumber kesengsaraan bagi semua orang. Riba telah mengakibatkan seluruh beban kehidupan menjadi semakin tidak tertanggungkan, biaya dan harga apa pun menjadi berlipat ganda. Sekali lagi perhatikan kenyataan di sekeliling kita

No comments:

Post a Comment